Memoar 6-6

Ditulis oleh: Vicky Taniady – Delegasi GNYA – Sekolah Kuntum Cemerlang Bandung

Catatan pengalaman Garuda Nusa Youth Action (GNYA) 2021 Belitung

“Katanya, mencintai hal yang tidak kita kenal sebelumnya, sama saja seperti mengejar matahari yang segera terbenam. Ia pasti akan segera pergi karena esok hari ia harus segera terbit di tempat lain. Kita takkan pernah mampu bersamanya, kita hanya mampu mewarnainya dan belajar memberikan yang terbaik selagi di sisinya.” – enam pagi

Memoar 6-6

Enam petang, aku menutup laptopku, bernapas, dan kemudian membukanya lagi untuk maraton di kelas selanjutnya. Jiwa ekstroverku meronta-ronta karena aku yang ingin segera terbang ke Belitung, masih harus terpaku di meja belajar menyelesaikan tanggung jawab bersama dosen di depan layar virtual. Aku memang tidak begitu memikirkan apa yang akan kubawa, meski koperku, sudah penuh sesak dan siap meluncur. Pikiranku meloncat ke sana kemari tak keruan sudah membayangkan ini dan itu bersama orang-orang yang sebenarnya sama sekali belum pernah bersua muka dengan muka denganku. Entah kejutan apa yang Tuhan siapkan untukku yang baru saja berulang tahun ini.

Mataku terbuka, tersadar bahwa aku sudah di atas awan menunggangi pesawat besi dan melihat indahnya pelangi yang menyambut kami di Negeri Laskar Pelangi ini. Rupa-rupanya, aku terrenyuh ketika melemparkan matakku ke daratan dan melihat lubang-lubang tambang yang menganga. Bukan, tempatku sepekan ke depan bukanlah tempat syuting film kenamaan itu, namun desa di ujung utara pulau ini, Desa Terong namanya. Meski terdengar kurang komersil namun intuisiku berkata bahwa aku akan bertemu orang-orang baik di sana. Benar saja, sesaat kami tiba, kami dipencar di rumah-rumah mereka, mereka menyebutnya homestay dan kini kusebut dengan home to stay. Pemilik homestay yakni Pak Halik adalah sesepuh di Desa Terong yang mengajarkan arti kesederhanaan dan ketulusan dalam membangun sebuah komunikasi.

Bersama Pak Halik, Kakek Desa Terongku

Tidak banyak yang tahu bahwa Desa Terong adalah desa yang berpotensi dan telah menjadi desa wisata. Padahal, dari pantai hingga bukit, semua siap untuk dikunjungi dan dieksplorasi. Dulunya, kawasan ini dikeruk kaolin dan timahnya yang kini hanya meninggalkan bekas dan di desa inilah salah satunya telah disulap menjadi tempat wisata, Aik Rusa’ Berehun namanya. Aik rusa’ artinya air rusa, karena dulunya tempat ini merupakan mata air tempat rusa minum dan berehun sendiri diartikan sebagai gotong royong (diambil dari filosofi sejarah dibangunnya tempat ini). Kami menghabiskan cukup banyak waktu di tempat ini untuk sekadar berbagi ilmu dan energi positif dengan anak-anak hingga bapak-bapak yang melebur jadi satu dalam tawa.

Ikon Wisata Aik Rusa Beurehun. Salah satu tempat wisata di Desa Wisata Kreatif Terong

Kami dikenalkan dengan tradisi bedulang ketika makan bersama di atas danau eks-tambang timah ini. Sepaket komplit makanan tersaji dalam nampan yang ditutup oleh tudung saji dari anyaman daun lais bercorak dan kemudian harus dibuka oleh orang yang paling tua. Orang yang paling muda kemudian diminta untuk menyajikan nasi untuk semua orang yang menjadi penanda bahwa yang muda menghormati yang tua. Selanjutnya, orang yang paling tua diperbolehkan mengambil lauk sesuai dengan keinginannya pada piring yang telah diisi nasi. Meskipun mengambil lauk pertama, justru di sinilah letak kebijaksanaan orang yang lebih tua dalam memberikan contoh sekaligus menyayangi yang lebih muda dengan tidak serakah mengambil lauk untuk makan. I was struck in awe! Belum apa-apa kami sudah disuguhkan dengan filosofi yang menjadi kearifan lokal yakni indahnya rasa saling hormat dan menghargai.

Desa Terong memang memberikan segudang potensi untukku bisa rehat dari penatnya ibukota namun rupanya falsafah hidup di tempat ini memikatku lebih jauh lagi. Pukul enam, setelah melepas rindu denganNya, kami selalu berbegas untuk bereksperimen dengan program bersama untuk bekerja dan belajar bersama. Mulai dari meinovasi lele menjadi nugget, berdialog dengan komunitas setempat, bermain dengan anak-anak yang antusias, hingga menyusur pantai yang eksotis. Setiap pintu terbuka dan setiap warga di sana menerima kunjunganku yang bahkan baru pertama bertemu. Menawariku makan, menyeruput segelas es kelapa, hingga membekaliku beberapa bongkah jambu bol (mirip seperti jambu air raksasa). Hatiku masih bertanya, mengapa mereka sedemian baiknya?

Program membuat nugget lele, salah satu inovasi dari para delegasi GNYA agar warga Desa Wisata Kreatif Terong mampu membuat diversifikasi olahan produk UMKM

Menarik dan heran, saat aku menjumpai bahwa setiap rumah tidak mengunci pintu bahkan menggantungkan kunci di motornya begitu saja. “Apakah di sini tidak ada maling?” atau “apakah harga motor murah di sini?” begitulah celetukanku kala itu. Aih, lancang sekali pernyataanku dalam merespons kejujuran dan kepercayaan yang akhirnya kutahu menjadi dasar hidup di sini, yang aku tahu dari Pak Iswan, koordinator pengelolaan wisata setempat. Tak bisa kubayangkan, jika hal ini diterapkan di kota-kota besar, apakah motor-motor ini akan aman atau hilang tanpa jeja? Ah, rupanya, aku semakin jatuh cinta pada desa ini dengan segala ketulusan dan filosofi hidupnya. Aku masih terus memikirkannya di kamar sembari menatapi baling-baling kipas yang menyejukanku di malam yang sedikit hangat namun tak lebih hangat dari sambutan warga di sini.

Rasa-rasanya, bagaimana desa ini bangkit dari dampak penambangan pun patut diacungi jempol. Membangun suatu tempat wisata dari keberadaan adalah hal biasa, namun membangun potensi wisata desa dari keterbatasan adalah hal yang jauh lebih luar biasa. Aku merasakan semangat bahu membahunya masyarakat dalam membangun wisata dengan gigih melalui cerita saat Aik Rusa’ Berehun ini dibangun. Menyiapkan tempat penginapan yang berdaya saing dengan hotel-hotel bintang lima, membangun daya tarik wisata dari lubang-lubang tambang yang terbengkalai, dan yang lebih penting membentuk mentalitas masyarakat yang peduli wisata sepertinya memerlukan peluh yang menetes deras. Tapi semangat “berehun” menjadikannya pesat bertumbuh sejak 2014 dan hingga saat ini menjadi prioritas pembangunan wisata oleh Kemenpar.

Delegasi GNYA bersama anak-anak Desa Wisata Kreatif Terong saat program lomba-lomba

Aku terkagum ini bermetamorfosis menjadi cinta ketika bahasa ketulusan mereka kutangkap dari cara mereka memperlakukan kami. Kutahu sungguh, mereka seharusnya hanya menyajikan menu X namun kami menerima XYZ+. Kami diperlakukan seperti anak mereka sendiri. Aku berasa dejavu bertemu dengan kakek dan nenekku yang mengambilkanku kelapa ketika aku merengek, memetikanku mangga ketika aku mau, dan memasakanku banyak hal agar aku betah di sana. Jujur, ini tidak hanya layak disebut desa wisata, akan tetapi kampung halaman yang membangun memoar 6-6. Jam dinding bergulir 360°. Dari pukul enam pagi hingga enam petang, kumenikmati banyaknya suguhan alam hingga sosial budaya. Lalu dari enam petang hingga enam pagi, kurasakan sungguh nyamannya rumah bersama bapak ibu di home(stay).

Di sini aku belajar, apa yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati. Aku memahami bahwa kesederhanaan akan memperkaya kebersamaan, kebersamaan menumbuhkan persatuan, dan persatuan akan melahirkan buah yang manis. Aku memang belum mengenalnya secara mandalam namun perjumpaan pertamanya saja membuatku jatuh cinta. Semangat ini membuat kami tak pernah merasa letih meski kami sempat mengantuk. Sesekali kami melihat jam tangan dan jarum jam menunjukan pukul 18.00, 21.00, 24.00, hingga kami terbangun dan kembali memulai hari pukul 06.00. Kurasa Tuhan mempercepat waktu hingga kami tahu bahwa kami telah di ujung temu. Misiku untuk mengabdi telah usai dan berbalik arah menjadi semangat untuk pulang dan mencintai rumahku seperti mereka mencintai rumahnya. Aku memang akan segera pergi namun kelak aku akan kembali, ke sini, ke desa memoar 6-6, Desa Terong namanya.

Kami (Garuda Nusa dan Desa Terong)

Bila di desa saja menenangkan, mengapa harus pergi ke kota? – Iswandi, pukul enam petang

Catatan pengadian oleh Vicky Taniady

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *